Hakim Arief Hidayat dari Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki pendapat yang berbeda dengan delapan hakim MK lainnya mengenai penolakan seluruh dalil yang diajukan oleh pemohon.
Pada hari ini, Kamis 15 Juni 2023, Mahkamah telah memutuskan untuk menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka, di mana pemilih secara langsung memilih calon anggota legislatif melalui kertas suara.
Setelah mempertimbangkan dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon dan pendapat berbagai pihak yang disampaikan dalam persidangan, Mahkamah menyimpulkan bahwa sistem pemilu terbuka terbatas adalah yang paling sesuai.
Namun, pelaksanaannya tidak dapat dilakukan pada pemilu 2024 yang tahapannya sudah berjalan.
“Agar tahapan pemilu 2024 yang sudah dimulai tidak terganggu, maka sisitem pemilu terbuka terbatas dilakukan pada pemilu 2029, dan gugatan pemohon sebagian beralasan menurut hukum,” ujar Hakim MK Arief Hidayat saat membacakan dissenting opinion, Kamis 15 Juni 2023.
Sebagaimana telah diketahui, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 yang berkaitan dengan pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), serta Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Para pemohon berargumen bahwa Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Pada sidang pendahuluan di MK pada hari Rabu (23/11/2022), para pemohon menyampaikan argumen bahwa ketentuan-ketentuan tersebut yang berkaitan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak telah diambil alih oleh caleg pragmatis yang hanya mengandalkan popularitas dan menjual diri tanpa memperhatikan ikatan ideologis dan struktur partai politik, serta tanpa pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Dampaknya, ketika terpilih sebagai anggota DPR/DPRD, mereka seolah-olah mewakili diri sendiri bukan organisasi partai politik.
Oleh karena itu, seharusnya otoritas partai politik memiliki wewenang untuk menentukan siapa yang layak menjadi perwakilan partai di parlemen setelah melalui pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut pemohon, ketentuan-ketentuan tersebut telah menyebabkan individualisme di antara politisi, yang berdampak pada konflik internal dan kanibalisme di dalam partai politik terkait.
Sistem proporsional terbuka dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas yang mengutamakan kemenangan individu dalam pemilu.
Seharusnya, kompetisi terjadi antara partai politik dalam lingkup pemilu, karena peserta pemilu adalah partai politik, bukan individu, sesuai dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan-ketentuan tersebut karena menyebabkan pemilu menjadi sangat mahal dan memunculkan masalah yang kompleks.
Sistem proporsional terbuka juga dinilai oleh pemohon menciptakan kompetisi yang tidak sehat antara caleg dalam pemilu, mendorong terjadinya kecurangan termasuk memberikan uang kepada panitia penyelenggara pemilihan.
Dengan pembatalan ketentuan-ketentuan tersebut, diharapkan praktik politik uang dapat dikurangi, sehingga pemilu menjadi lebih bersih, jujur, dan adil.
Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak juga memerlukan biaya yang tinggi dari APBN, misalnya untuk mencetak surat suara dalam pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Para pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar menyatakan bahwa frasa “terbuka” dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam proses persidangan, kedua sistem pemilu, baik proporsional terbuka maupun tertutup, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Muncul pula alternatif lain, yaitu sistem pemilu menggunakan proporsional tertutup terbatas.